Bekerja, Menghitung Purnama

9:22 PM

Tiga belas purnama, saya berhitung. Dari dingin menusuk ke sejuk membelai hingga panas menggigit, kembali ke dingin, dan saat semua baju hangat telah disimpan kembali di dasar lemari, tekanan itu terasa makin nyata.

Tekanan yang membuat saya ingin melawan. Balon berisi udara, jika ditekan bentuknya tidak lagi bulat. Namun ketika tekanan dilepaskan, balon tak akan menunggu lama untuk kembali ke bentuk semula. Saya memaknainya sebagai sebuah perlawanan, si balon berusaha mempertahankan kondisi awalnya, udara yang ada di dalam balon segera bergerak mengisi 'ruang baru'.

Saya pun ingin kembali ke kondisi semula. Seperti ketika masih di tanah air. Saya pun mencoba 'melawan' dengan berkarya. Dengan komputer, saya menjajakan hasil desain kepada klien di Jerman, Singapore, Canada, Australia dan lain-lain. Hasilnya tidaklah signifikan, karena sekarang saya di Australia. $250, upah rata-rata untuk desain sebuah web, tidak berarti apa-apa di sini, tidak cukup membayar sewa mingguan apartemen kami. Selain itu, jalan freelancing yang saya tempuh berarti bersedia bekerja dengan jam kerja yang ajaib. Tinggal di Australia menyebabkan perbedaan waktu terlalu tajam dengan kebanyakan calon klien yang kebanyakan dari belahan bumi utara, agak tidak fleksibel untuk seorang ibu tiga anak.

Dari dapur pun saya mencoba berkarya. Saya tawarkan mi Bangka, empek-empek, bahkan cireng, kepada para pembeli yang adalah orang Indonesia yang rindu makanan Indonesia. Ini saya lakukan sekali lagi untuk melawan, agar dapat perlahan kembali ke kondisi semula. Kondisi seperti ketika kami masih di Indonesia, saat kami punya keleluasaan berimprovisasi dalam keuangan kami. Tak mewah tapi tercukupi melebihi kebutuhan primer kami.

Berhasil? Sesekali bisa menyenangkan diri, lumayan mengangkat semangat yang patah. Seperti hari itu. Ada 12 kotak pesanan empek-empek yang harus saya ke antar. Dari rumah berjalan ke stasiun kereta terdekat lalu melakukan perhentian di Chatswood, Epping, dan terakhir Martin Place. Seperti biasa, saya selalu melakukan perayaan kecil atas hasil yang didapat. Alih-alih disimpan semuanya, saya menukarkan sebagian penghasilan hari itu dengan secangkir kopi dan satu lonjor sushi seharga $2.5. Saya merasa bangga setiap kali melakukannya, hasil jerih payah sendiri. Namun hari itu, saya ingin agak menuruti insting bersolek seorang wanita, beli gincu baru. Ah, gimana mau nabung. Soal tabungan, tidak usahlah itu dibahas. Nelangsa hati ini. Tak perlulah terlalu dipikirkan untuk bersenang-senang dahulu, berusaha dululah. Mudik ke Indonesia pun tak perlu dijadwalkan dulu. Bisa nanti.

Yang lebih berat tekanan terasa adalah perasaan jadi beban. Status saya kini adalah tertanggung. Sama seperti ketika di Indonesia sebenarnya. Tapi entah kenapa, jadi tertanggung sementara kondisi menghimpit begini membuat saya tidak nyaman, saya kehilangan separuh harga diri. Kontribusi moneter saya hampir nihil, padahal situasi mendesak, memanggil-manggil untuk turut bertempur dalam kancah peperangan menaklukkan penguasa Australia bernama Australian Dollar.

Wawancara demi wawancara tanpa hasil membuat saya menurunkan standard. Kini saya membidik sektor ritel. Apa daya. Lamaran yang saya layangkan ke jaringan-jaringan supermarket besar ditolak berkali-kali. Sempat saya terpuruk. Harga diri saya terluka. Saya, lho, sarjana Teknik Informatika dari Bina Nusantara, yang merasa diri cerdas, tawakal, harapan nusa bangsa, gemar menabung, DITOLAK sebagai karyawan supermarket. Padahal posisi yang saya lamar itu adalah posisi entry level seperti kasir, pengisi rak, penjaga toko, apa pun. Saya ternyata tidak cukup baik untuk posisi-posisi tersebut.  Kejumawaan saya habis tergerus. Tak punya daya jual lagi, itu ucap saya tentang diri sendiri.

Karena minat pada pendidikan, saya pun terpikir menjadi karyawan trainee di day care. Saya kan suka anak-anak, mengapa tidak. Saya hanya harus siap bekerja dengan jam kerja yang panjang, yaitu 10 jam. Saya hanya harus berurusan dengan bayi baru lahir hingga anak usia 6 tahun, berurusan dengan pantat bayi. Saya hanya harus siap jadi carer (nanny/baby sitter) sekaligus educator (pengajar). Saya juga akan belajar dan memperoleh sertifikasi sehingga bisa bekerja sebagai pendidik anak usia dini di Australia. Dua day care yang merespons lamaran saya, sudah diwawancara dan tinggal menunggu tahap berikut, yaitu menandatangi kontrak. Entah kenapa selalu terjadi selisipan kata orang Jawa. Saya menelepon, manager day care sedang berhalangan, atau ketika dia menelepon, saya yang tidak bisa mengangkat. Tak pernah terjadi kesepakatan.

Jualan makanan lagi saja. Atau mencoba sektor lain. Hospitality. Termasuk di dalamnya adalah housekeeping, cleaning, waitressing. Perlu menguatkan hati untuk melakoninya, karena saya tidak terbiasa kerja dengan fisik. Pengalaman tidak ada. Akhirnya ada sebuah lamaran yang mendapat respons. Sebuah restoran Malaysia berjarak sekitar 7 km dari tempat tinggal saya setuju mempekerjakan saya sebagai waitress dengan status trainee. Coba dulu, jika cocok teruskan. Restorannya sangat sibuk ketika jam makan siang. Saya memulai bekerja dengan membersihkan toilet dan mengepel lantai restoran dengan 33 meja dan sekitar 100 kursi itu. Tujuh hari saja karir saya sebagai waitress :) Sendi antara jempol dan jari telunjuk kanan saya sempat nyeri berhari-hari karena terlalu banyak dipakai untuk melakukan tugas yang berulang-ulang, mengangkat piring-piring berat, mengelap meja. Ah, sungguh saya bukan gadis remaja lagi, meski ada juga pengunjung yang mengira saya student atau mahasiwa begitu. Hahaha. Namun saya tidak ge-er, lho, saya pasti dianggap student karena yang biasa bekerja sebagai waitress atau pelayan restoran adalah mahasiswa atau pelajar, karena, hei, bayaran waitress memang tidak besar.

Bukan, bukan pekerjaan berat yang saya keluhkan. Masih bisa ditanggung, saya kan sudah tiga kali melahirkan. Kan, katanya sakit bersalin itu rasanya seperti mau mati saja. Mengangkat piring saja masih belum terasa mau mati, kok. Lingkungannya yang saya tidak betah. Mereka bukan orang-orang ramah. Bekerja, selain mendapat penghasilan, saya juga ingin menambah teman. Jika pertemanan tak didapat, saya akan sulit bekerja dengan suka cita. Tapi ngomong-ngomong sendi jari jempol kanan saya sungguhan sakit, lho.

Me in my black uniform
Bagian luar restoran Malaysia itu
mencatat pesanan
Kembali menganggur, kembali berjualan empek-empek. Dipikir-pikir, empek-empek berjasa besar bagi kewarasan saya. Kepuasan yang saya dapat saat pembeli berkata empek-empek saya enak, juga kepuasan saya bisa makan empek-empek kapan saja tanpa bayar itu warbyasak! Hidup empek-empek! Promosi ya, empek-empek saya asli ikan tenggiri, dengan komposisi tepung tapioka yang tak sampai 3/4 daging ikan. Jadi, pasti ikannya akan sangat terasa. Segera hubungi saya jika ingin mencicipi. Haha!

Empek-empek, pahlawan saya
Walau agak kapok menjadi waitress, saya masih mencoba melamar-lamar lagi di bidang ini. Mungkin lebih baik di cafe, yang tak sesibuk restoran Malaysia itu. Tak ada yang menjawab. Saya bahkan mencoba ke level yang lebih menantang lagi, housekeeping alias petugas bersih-bersih di hotel tak jauh dari tempat tinggal saya. Tiap kali menelepon, orang yang bertanggung jawab tak ada di tempat. Saya kirim email saja. Belum ada jawaban. Hingga sekarang.

Kini sudah enam belas purnama. Cerita pencarian saya akan arti kehidupan jati diri keleluasaan dalam berimprovisasi secara moneter untuk sementara mengendur dulu. Saya sudah duduk tenang menghitung purnama yang akan datang dari balik meja lebar dengan dua monitor. Saya tidak berbagi meja dengan siapa-siapa, tidak berbagi locker, tidak perlu mengenakan apron kotor entah bekas siapa, tidak perlu lagi mencatat pesanan makanan orang dan membubuhkan kode nama saya "D" di lembar pesanan. Saya tidak perlu lagi mengangkat piring-piring kotor dan membuang sampah sisa-sisa makanan pengunjung ke baskom besar dan merasakan minyaknya mengotori jari-jari saya. Sudah berlalu masa-masa saya diomeli karena tidak menaruh nota sesuai urutan, tidak menjepitnya dengan jepit yang tepat, tidak perlu lagi mencium bau pembersih lantai yang membuat indra penciuman saya lumpuh sementara, tidak perlu lagi menyepi di toilet wanita ketika tak terlihat satu pun wajah-wajah bersahabat. Saya sudah kembali kepada dunia yang pernah saya hidupi dulu. Komputer. Printer. Windows. Web. AWS. Photoshop. Illustrator. Dreamweaver. HTML.  Teman baru saya: Google Double Click, Campaign Monitor, OMS, AdTrack, Slack. Kini saya menghitung purnama bersama mereka. Kelak saya yakin, akan sesekali menghitung purnama di Indonesia.



You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images